Tanah pekuburan basah oleh hujan semalam. Dengan sangat hati-hati kucabuti rumput-rumput disekitar pusara Abah. Fadlan adik lelakiku sibuk menyiangi dengan sabit yang dibawanya dari rumah.
Sepi sekali suasana di pekuburan desa yang terletak di lereng gunung Arjuna ini. Satu dua petani nampak dari kejauhan sedang memanggul cangkul dan perbekalannya menuju sawah. Biru bayangan gunung Arjuna nun jauh di sana, beralas karpet hijau lautan padi yang subur membentang. Semua nampak indah dalam timpahan cahaya matahari pagi yang hangat. Satu dua burung kecil nampak berkejaran diantara ranting-ranting pohon kamboja dan asam belanda yang menaungi komplek pekuburan tua ini.
Kulantunkan doa untuk Abah, semoga Allah Subhanahu Wa Taala mengampuni dosa-dosanya, dan semoga Abah tenang dalam kuburnya dan dijuahkan dari siksa. Melihat tanah pekuburan yang sepi senantiasa mengingatkanku akan hakikat kematian itu sendiri.
Kematian adalah berpisahnya raga dari nyawa, dan berpindahnya tubuh dari alam dunia ke alam barzah. Dalam kematian seseorang menjalani proses sebelum saat pertemuan dengan Sang Khalik di hari pembalasan kelak. Kematian memutuskan segala hubungan manusia dengan seluruh keluarga, handai taulan dan teman-teman yang dicintainya. Juga terputusnya hubungan dari semua kekayaan yang dimiliknya.
Sendirian, dalam kesepian. Kedinginan, dihimpit tanah yang tandus dipenuhi jasad renik yang siap menyantap setiap inci daging dari tubuh kita. Luluhlah segala kesombongan yang dahulu menghiasi diri, lenyaplah segala keangkuhan akan segala pencapaian dan jati diri yang terbangun susah payah dalam hari-hari dan malam-malam panjang di dunia.
Tak ada lagi yang tersisa, hanya lantunan doa tulus dari anak-anak shalih yang telah kita didik dengan susah payah, tabungan amal jariyah dan manfaat ilmu yang sudah kita bagikan pada sesama. Subhanallah. Sungguh terpujilah Allah yang Maha Sempurna, andai saja bekal kematian adalah gunungan harta yang melimpah, tentu si miskin hanya bisa menangis lantaran tak sedikitpun dia mampu membawanya, sedang selama di dunia pun, terkadang tak tahu harus makan apa.
Andai saja derajat manusia di alam barzah ditentukan oleh pangkat dan kedudukan di dunia, tentu orang-orang dzalim yang memperoleh kekuasaan dengan segala cara tak peduli halal haram itu bisa puas tertawa di kuburnya. Untunglah Allah Maha adil. Amal shalih dan takwa, yang bisa dilakukan oleh siapa saja si kaya dan si miskin, adalah sebaik-baiknya bekal menghadap DIA. Allahu Akbar!
Tak kuasa air mataku luruh membasahi jilbab hitamku. Semakin kutahan semakin deras ia mengucur. Alam barzah telah memisahkan kita dengan orang-orang tercinta. Menunggu saat hari kebangkitan dan pembalasan, lalu kita punya dua pilihan, berkumpul kembali bersama mereka, atau terpisah selama-lamanya. Ya Rabb..
Sebuah rasa sakit kembali menyeruak, manakala aku teringat hari-hariku yang lalu. Masa indah dan duka yang menoreh dalam kenangan hidupku.
"Zainab... sudah waktunya engkau berkeluarga, Nak. Ummi ingin melihat engkau membina rumah tangga dan berbahagia, seperti teman-teman sebayamu lainnya" bisik Ummi suatu sore , sambil menyisir rambutku dengan jemarinya, saat aku tiduran di dipan kecilku.
"Ummi, Zainab juga inginkan hal yang sama, apa daya bila Allah belum menghendaki Ummi..." jawabku lirih.
"Bukannya sudah banyak pemuda baik yang melamarmu, tapi engkau sennatiasa menolaknya.." tegur Ummi halus.
"Ummi, maafkan Zai... meski banyak pemuda yang melamar, tapi tak satupun yang memiliki akidah yang sama dengan keyakinan Zai.. Ummi... bagaimana bisa Zai menerimanya?"
"Beda keyakinan bagaimana? orang mereka semua muslim kok... baik-baik pula..." sanggah Ummi tak setuju.
"Iya Ummi, muslim juga sekarang banyak yang beda, beda pemahaman, beda madzab, beda manhaj..." terangku hati-hati
"Apalagi itu, Ummi ndak ngerti. Kok aneh-aneh saja sih. Hidup itu mbok jangan dibikin ruwet. Lihat Ummi dan Abah, dijodohkan orang tua, ngga saling kenal.. ya jadi.. ya langgeng.." celoteh Umm
"Ah.. Ummi..andai Zai bisa berpikiran sesimpel Ummi, mungkin Ummi sekarang sudah menimang cucu ya Ummi. Tapi.. Zai ngga bisa begitu Ummi, Zai ngga mungkin menikahi lelaki ahli bid'ah.. ataupun mereka yang pemahaman Islamnya belum jelas.. ikut sana-ikut sini. Suami kan nantinya menjadi pemimpin Zai, Ummi. Surga dan neraka Zai tergantung suami..." aku menjelaskan lagi.
Ummi mencoba memahami, meski aku tahu jauh di lubuk hatinya masih ngga bisa menerima argumenku yang menurutnya ruwet itu. Aku hanya bisa tersenyum dan mengencangkan doa. Ujian bagiku menjadi wanita yang mulai memahami konsep agama sesuai sunnah Rasulullah Salallahu alaihi Wa Salam. Sedang lelaki sepemahaman masih sedikit di kampungku.
"Ummi tolong doakan terus ya, agar Zai memperoleh suami yang shalih yang Zai dambakan.." pintaku manja.
"Tentu saja, anakku, Ummi tak putus berdoa untukkmu, setiap hari, setiap waktu.." bisik Ummi mengecup keningku. Aku memejamkan mata penuh syukur. Alangkah bahagianya memiliki orang-orang yang mencintai kita, yang tulus berdoa untuk kebahagiaan kita, tanpa mengharap imbalan apa-apa.
********************************
"Ukhty, bagaimana kalau Ukhty melamar Ustad Jaffar saja? , nanti biar dibantu adikku menyampaikan pada Ustadz Jaffar. Beliau kan seumuran, bahkan sedikit lebih tua dari Ukhty..." usul temanku Ukhty Salamah, suatu sore dalam sebuah majlis taklim di rumahnya.
"Apa ?? bukannya Ustadz Jaffar sudah beristeri, Ukhty Salamah? " bisikku tercengang oleh usulan sahabatku itu.
"Loh dalam Islam kan ada syariat poligami. Bahkan hukum asalnya pernikahan dalam Islam itu Poligami loh. Ukhty lupa ya.. penjelasan surah An Nisaa ayat 3. Di situ jelas disebutkan "nikahilah wanita yang kamu suka, dua, tiga atau empat, dan jika kamu takut ngga bisa berbuat adil, maka nikahilah satu saja..." ujar Ukhty Salamah bersemangat.
Ya aku tahu.. bahkan aku sudah paham dan bisa menerima konsep poligami seperti yang sudah banyak dibahas dalam majlis taklim kami. Ah.. tapi apakah orang tua dan keluargaku siap? apakah masyarakat desaku siap? bukannya nanti mereka akan menggunjingkan Ustadz Jaffar yang selama ini sangat dihormati sebagai lelaki hidung belang? Padahal.. konsep poligami demikian mulia.
"Jaman sekarang bukan hanya masyarakat yang belum siap menerima konsep poligami itu Ukhty, bahkan para Ihwan sendiri masih banyak yang belum siap. Mereka takut digunjingkan orang, takut melukai perasaan isteri pertama yang disayang-sayang, atau takut ngga bisa berlaku adil.." bisikku sedih.
"Ya.. apa daya ukhty... belum semua ihwan mampu mengemban amanah poligami.. akibatnya banyak wanita shalihah yang ngga kebagian suami yang shalih. Karena jumlah lelaki shalih yang paham akidah sunnah hanya sedikit..." sesal Ukhty Salamah.
Sore itu berlalu dengan sebuah rasa masygul dalam hatiku. Tapi segera kutepis perasan itu dengan banyak-banyak berdoa dan memohon ampunan dari Allah Subhanahu Wa Taala. Aku yakin Allah Maha Baik, dia mendengar semua doa, dan DIA berjanji akan mengabulkannya.
(Bersambung ke bagian 2)
Sepi sekali suasana di pekuburan desa yang terletak di lereng gunung Arjuna ini. Satu dua petani nampak dari kejauhan sedang memanggul cangkul dan perbekalannya menuju sawah. Biru bayangan gunung Arjuna nun jauh di sana, beralas karpet hijau lautan padi yang subur membentang. Semua nampak indah dalam timpahan cahaya matahari pagi yang hangat. Satu dua burung kecil nampak berkejaran diantara ranting-ranting pohon kamboja dan asam belanda yang menaungi komplek pekuburan tua ini.
Kulantunkan doa untuk Abah, semoga Allah Subhanahu Wa Taala mengampuni dosa-dosanya, dan semoga Abah tenang dalam kuburnya dan dijuahkan dari siksa. Melihat tanah pekuburan yang sepi senantiasa mengingatkanku akan hakikat kematian itu sendiri.
Kematian adalah berpisahnya raga dari nyawa, dan berpindahnya tubuh dari alam dunia ke alam barzah. Dalam kematian seseorang menjalani proses sebelum saat pertemuan dengan Sang Khalik di hari pembalasan kelak. Kematian memutuskan segala hubungan manusia dengan seluruh keluarga, handai taulan dan teman-teman yang dicintainya. Juga terputusnya hubungan dari semua kekayaan yang dimiliknya.
gambar dari naked-timor.blogspot.com |
Sendirian, dalam kesepian. Kedinginan, dihimpit tanah yang tandus dipenuhi jasad renik yang siap menyantap setiap inci daging dari tubuh kita. Luluhlah segala kesombongan yang dahulu menghiasi diri, lenyaplah segala keangkuhan akan segala pencapaian dan jati diri yang terbangun susah payah dalam hari-hari dan malam-malam panjang di dunia.
Tak ada lagi yang tersisa, hanya lantunan doa tulus dari anak-anak shalih yang telah kita didik dengan susah payah, tabungan amal jariyah dan manfaat ilmu yang sudah kita bagikan pada sesama. Subhanallah. Sungguh terpujilah Allah yang Maha Sempurna, andai saja bekal kematian adalah gunungan harta yang melimpah, tentu si miskin hanya bisa menangis lantaran tak sedikitpun dia mampu membawanya, sedang selama di dunia pun, terkadang tak tahu harus makan apa.
Andai saja derajat manusia di alam barzah ditentukan oleh pangkat dan kedudukan di dunia, tentu orang-orang dzalim yang memperoleh kekuasaan dengan segala cara tak peduli halal haram itu bisa puas tertawa di kuburnya. Untunglah Allah Maha adil. Amal shalih dan takwa, yang bisa dilakukan oleh siapa saja si kaya dan si miskin, adalah sebaik-baiknya bekal menghadap DIA. Allahu Akbar!
Tak kuasa air mataku luruh membasahi jilbab hitamku. Semakin kutahan semakin deras ia mengucur. Alam barzah telah memisahkan kita dengan orang-orang tercinta. Menunggu saat hari kebangkitan dan pembalasan, lalu kita punya dua pilihan, berkumpul kembali bersama mereka, atau terpisah selama-lamanya. Ya Rabb..
Sebuah rasa sakit kembali menyeruak, manakala aku teringat hari-hariku yang lalu. Masa indah dan duka yang menoreh dalam kenangan hidupku.
"Zainab... sudah waktunya engkau berkeluarga, Nak. Ummi ingin melihat engkau membina rumah tangga dan berbahagia, seperti teman-teman sebayamu lainnya" bisik Ummi suatu sore , sambil menyisir rambutku dengan jemarinya, saat aku tiduran di dipan kecilku.
"Ummi, Zainab juga inginkan hal yang sama, apa daya bila Allah belum menghendaki Ummi..." jawabku lirih.
"Bukannya sudah banyak pemuda baik yang melamarmu, tapi engkau sennatiasa menolaknya.." tegur Ummi halus.
"Ummi, maafkan Zai... meski banyak pemuda yang melamar, tapi tak satupun yang memiliki akidah yang sama dengan keyakinan Zai.. Ummi... bagaimana bisa Zai menerimanya?"
"Beda keyakinan bagaimana? orang mereka semua muslim kok... baik-baik pula..." sanggah Ummi tak setuju.
"Iya Ummi, muslim juga sekarang banyak yang beda, beda pemahaman, beda madzab, beda manhaj..." terangku hati-hati
"Apalagi itu, Ummi ndak ngerti. Kok aneh-aneh saja sih. Hidup itu mbok jangan dibikin ruwet. Lihat Ummi dan Abah, dijodohkan orang tua, ngga saling kenal.. ya jadi.. ya langgeng.." celoteh Umm
"Ah.. Ummi..andai Zai bisa berpikiran sesimpel Ummi, mungkin Ummi sekarang sudah menimang cucu ya Ummi. Tapi.. Zai ngga bisa begitu Ummi, Zai ngga mungkin menikahi lelaki ahli bid'ah.. ataupun mereka yang pemahaman Islamnya belum jelas.. ikut sana-ikut sini. Suami kan nantinya menjadi pemimpin Zai, Ummi. Surga dan neraka Zai tergantung suami..." aku menjelaskan lagi.
Ummi mencoba memahami, meski aku tahu jauh di lubuk hatinya masih ngga bisa menerima argumenku yang menurutnya ruwet itu. Aku hanya bisa tersenyum dan mengencangkan doa. Ujian bagiku menjadi wanita yang mulai memahami konsep agama sesuai sunnah Rasulullah Salallahu alaihi Wa Salam. Sedang lelaki sepemahaman masih sedikit di kampungku.
"Ummi tolong doakan terus ya, agar Zai memperoleh suami yang shalih yang Zai dambakan.." pintaku manja.
"Tentu saja, anakku, Ummi tak putus berdoa untukkmu, setiap hari, setiap waktu.." bisik Ummi mengecup keningku. Aku memejamkan mata penuh syukur. Alangkah bahagianya memiliki orang-orang yang mencintai kita, yang tulus berdoa untuk kebahagiaan kita, tanpa mengharap imbalan apa-apa.
gambar dari www.darusyifa.com |
********************************
"Ukhty, bagaimana kalau Ukhty melamar Ustad Jaffar saja? , nanti biar dibantu adikku menyampaikan pada Ustadz Jaffar. Beliau kan seumuran, bahkan sedikit lebih tua dari Ukhty..." usul temanku Ukhty Salamah, suatu sore dalam sebuah majlis taklim di rumahnya.
"Apa ?? bukannya Ustadz Jaffar sudah beristeri, Ukhty Salamah? " bisikku tercengang oleh usulan sahabatku itu.
"Loh dalam Islam kan ada syariat poligami. Bahkan hukum asalnya pernikahan dalam Islam itu Poligami loh. Ukhty lupa ya.. penjelasan surah An Nisaa ayat 3. Di situ jelas disebutkan "nikahilah wanita yang kamu suka, dua, tiga atau empat, dan jika kamu takut ngga bisa berbuat adil, maka nikahilah satu saja..." ujar Ukhty Salamah bersemangat.
Ya aku tahu.. bahkan aku sudah paham dan bisa menerima konsep poligami seperti yang sudah banyak dibahas dalam majlis taklim kami. Ah.. tapi apakah orang tua dan keluargaku siap? apakah masyarakat desaku siap? bukannya nanti mereka akan menggunjingkan Ustadz Jaffar yang selama ini sangat dihormati sebagai lelaki hidung belang? Padahal.. konsep poligami demikian mulia.
"Jaman sekarang bukan hanya masyarakat yang belum siap menerima konsep poligami itu Ukhty, bahkan para Ihwan sendiri masih banyak yang belum siap. Mereka takut digunjingkan orang, takut melukai perasaan isteri pertama yang disayang-sayang, atau takut ngga bisa berlaku adil.." bisikku sedih.
"Ya.. apa daya ukhty... belum semua ihwan mampu mengemban amanah poligami.. akibatnya banyak wanita shalihah yang ngga kebagian suami yang shalih. Karena jumlah lelaki shalih yang paham akidah sunnah hanya sedikit..." sesal Ukhty Salamah.
Sore itu berlalu dengan sebuah rasa masygul dalam hatiku. Tapi segera kutepis perasan itu dengan banyak-banyak berdoa dan memohon ampunan dari Allah Subhanahu Wa Taala. Aku yakin Allah Maha Baik, dia mendengar semua doa, dan DIA berjanji akan mengabulkannya.
(Bersambung ke bagian 2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar