Suatu pagi aku melihatnya melintas jalan, saat kujalankan perlahan mobil kesayanganku . Entah mengapa aku merasa mengenal wajahnya. Di mana? dimana pertama bertemu?
Lalu kuingat saat-saat sulit itu, ketika aku tak mampu membeli laptop dan memasang internet di rumahku. Aku sering pergi ke sebuah tempat untuk browsing maupun mengerjakan beberapa tugas yang memerlukan komputer, printer maupun jaringan internet. Warnet!
Itu sudah lama sekali, mungkin lebih dari tujuh tahun yang lalu, ah betapa cepatnya waktu berlalu.
Entah mengapa kemudian aku jadi sering bertemu wanita itu, dia sering melintas di jalanan sekitar kompleks perumahanku. Di depan toko roti, di depan kios digital printing, di dekat tukang bakso, yang paling sering, kutemui dia di dalam supermarket besar tempat aku biasa berbelanja.
Penampilannya berubah-ubah dan sering membuatku terkejut. Pertama kali kulihat dia setelah bertahun tak bersua, dia berjilbab. Entah mengapa aku tersenyum saat mengenalinya. Esoknya dia memakai hijab yang lebih lebar menutupi seluruh tubuhnya, sampai aku terkejut dengan gaya berhijabnya. Entah mengapa lain waktu kulihat dia tak berhijab
aku jadi bertanya-tanya.
Karena seringnya bertemu di supermarket, aku jadi mulai memperhatikan dia, entah mengapa aku jadi memikirkan 'sesuatu'. Sesuatu yang entah mengapa setelah aku analisa dan perhatikan sepertinya mendekati kebenaran.
Dia begitu sering berada di supermarket, tapi yang dilakukannya ternyata adalah: pergi dari satu rak ke rak yang lain, terutama di area basah tempat buah, sayur dan frozen foods berada. Menata setiap item yang berserakan , dia menata ulang sehingga rapi kembali. Berpindah dari satu rak ke rak lain, terus berputar ke seluruh ruangan melakukan hal yang sama. Setiap kali tangannya basah karena bungkus barang-barang yang ditatanya itu telah mengembun di rak-rak freezer, dia mengusapkan kedua tangannya ke sisi kanan-kiri bajunya.
Entah mengapa ada pedih di dadaku. akirnya aku tahu apa yang dilakukannya di supermarket setiap hari. Bukan, bukan berbelanja seperti ibu-ibu yang lain yang banyak uang dan mengambil ini-itu seolah tanpa menghitung berapa jumlah uang yang nanti akan dibayarkan di kasir.
Aku bertanya pada salah satu pegawai berseragam yang ada di Supermarket itu. "Mas apakah Mbak itu salah satu pegawai di sini?" tanyaku. "Bukan Bu" jawabnya.
Ada yang ingin kulakuakan, apakah itu tidak akan menyinggung harga dirinya? Ah kuperhatikan lagi dia dan entah apa yang menguatkan langkahku, kuhampiri dia.
"Mbak, mau ngga saya belikan buah?" tawarku padanya yang sedang sibuk menata ulang isi freezer yang penuh bungkusan french fries.
"O..oo.. buah, untuk apa Bu?" tanyanya terkejut, wajahnya terlihat sedikit gugup.
"Ya buat Mbak, biar Mbak sehat" tawarku, tersenyum.
"O..engga usah.." tolaknya "Sayaaa.. sudah punya buah, ada pisang... di rumah" Aku menangkap kekosongan di matanya. Hatiku trenyuh.
"Baiklah" dengan berat hati, aku kemudian meninggalkannya.
Sepanjang jalan pulang, airmataku berderai. Ya Allah berapa banyak wanita-wanita yang berada di posisi dia? Sepertinya dia tak punya siapa-siapa, karena aku selalu melihatnya sendirian menyusuri jalanan. Mungkin dia sedang bosan di rumah, Mungkin dia tak punya pekerjaan, tak punya uang, dan tak punya orang yang menyayanginya.
Setiap hari dia berjalan di jalanan untuk membuang bosan. Berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Hampir setiap hari dia pergi ke supermarket, bukan untuk berbelanja. Tapi hanya untuk menata barang-barang dari satu rak ke rak yang lain. Mungkin dia ingin terlihat seperti ibu-ibu yang lain. Yang berbelanja hampir setiap waktu. Memegang barang-barang kebutuhan sehari-hari yang mungkin hanya bisa dibeli oleh kalangan menengah ke atas.
Mungkin dia sedang menghibur diri, berpura-pura punya cukup uang untuk berbelanja di supermarket mewah. Mungkin dia sedang sangat suntuk di rumah, dan butuh pelampiasan murah meriah dengan jalan-jalan dan pura-pura belanja. Seribu 'mungkin' berkelana di kepalaku. Tapi semuanya membawaku kepada pengertian yang lebih dalam
"Ya Allah, ajarkan aku untuk selalu bersyukur. alangkah banyak nikmat yang Engkau limpahkan padaku, yang aku anggap 'sudah biasa' sehingga aku lupa mensyukurinya".
Terlalu banyak rencana yang ada di kepala, menunggu di eksekusi, yang membuatku fokus pada pencarian dan pencapaian, hingga aku lupa memikirkan apa saja yang sudah kupunya dan orang lain tidak punya, sama sekali.
Aku berharap dengan apa yang kumiliki saat ini, aku mampu memberi sesuatu pada orang lain. Sesuatu yang membahagiakan dan meringankan beban mereka yang kesulitan.
Alangkah beruntungnya kita yang masih punya keluarga, punya rumah, kendaraan, dan makanan hangat di meja. Alangkah patut kita bersyukur atas setiap apa yang kita punya. Terima kasih Allah.
Lalu kuingat saat-saat sulit itu, ketika aku tak mampu membeli laptop dan memasang internet di rumahku. Aku sering pergi ke sebuah tempat untuk browsing maupun mengerjakan beberapa tugas yang memerlukan komputer, printer maupun jaringan internet. Warnet!
Itu sudah lama sekali, mungkin lebih dari tujuh tahun yang lalu, ah betapa cepatnya waktu berlalu.
Entah mengapa kemudian aku jadi sering bertemu wanita itu, dia sering melintas di jalanan sekitar kompleks perumahanku. Di depan toko roti, di depan kios digital printing, di dekat tukang bakso, yang paling sering, kutemui dia di dalam supermarket besar tempat aku biasa berbelanja.
photo credit goes to freedigitalphotos.net |
aku jadi bertanya-tanya.
Karena seringnya bertemu di supermarket, aku jadi mulai memperhatikan dia, entah mengapa aku jadi memikirkan 'sesuatu'. Sesuatu yang entah mengapa setelah aku analisa dan perhatikan sepertinya mendekati kebenaran.
Dia begitu sering berada di supermarket, tapi yang dilakukannya ternyata adalah: pergi dari satu rak ke rak yang lain, terutama di area basah tempat buah, sayur dan frozen foods berada. Menata setiap item yang berserakan , dia menata ulang sehingga rapi kembali. Berpindah dari satu rak ke rak lain, terus berputar ke seluruh ruangan melakukan hal yang sama. Setiap kali tangannya basah karena bungkus barang-barang yang ditatanya itu telah mengembun di rak-rak freezer, dia mengusapkan kedua tangannya ke sisi kanan-kiri bajunya.
Entah mengapa ada pedih di dadaku. akirnya aku tahu apa yang dilakukannya di supermarket setiap hari. Bukan, bukan berbelanja seperti ibu-ibu yang lain yang banyak uang dan mengambil ini-itu seolah tanpa menghitung berapa jumlah uang yang nanti akan dibayarkan di kasir.
Aku bertanya pada salah satu pegawai berseragam yang ada di Supermarket itu. "Mas apakah Mbak itu salah satu pegawai di sini?" tanyaku. "Bukan Bu" jawabnya.
photo credit goes to freedigitalphotos.net |
"Mbak, mau ngga saya belikan buah?" tawarku padanya yang sedang sibuk menata ulang isi freezer yang penuh bungkusan french fries.
"O..oo.. buah, untuk apa Bu?" tanyanya terkejut, wajahnya terlihat sedikit gugup.
"Ya buat Mbak, biar Mbak sehat" tawarku, tersenyum.
"O..engga usah.." tolaknya "Sayaaa.. sudah punya buah, ada pisang... di rumah" Aku menangkap kekosongan di matanya. Hatiku trenyuh.
"Baiklah" dengan berat hati, aku kemudian meninggalkannya.
Sepanjang jalan pulang, airmataku berderai. Ya Allah berapa banyak wanita-wanita yang berada di posisi dia? Sepertinya dia tak punya siapa-siapa, karena aku selalu melihatnya sendirian menyusuri jalanan. Mungkin dia sedang bosan di rumah, Mungkin dia tak punya pekerjaan, tak punya uang, dan tak punya orang yang menyayanginya.
Setiap hari dia berjalan di jalanan untuk membuang bosan. Berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Hampir setiap hari dia pergi ke supermarket, bukan untuk berbelanja. Tapi hanya untuk menata barang-barang dari satu rak ke rak yang lain. Mungkin dia ingin terlihat seperti ibu-ibu yang lain. Yang berbelanja hampir setiap waktu. Memegang barang-barang kebutuhan sehari-hari yang mungkin hanya bisa dibeli oleh kalangan menengah ke atas.
Mungkin dia sedang menghibur diri, berpura-pura punya cukup uang untuk berbelanja di supermarket mewah. Mungkin dia sedang sangat suntuk di rumah, dan butuh pelampiasan murah meriah dengan jalan-jalan dan pura-pura belanja. Seribu 'mungkin' berkelana di kepalaku. Tapi semuanya membawaku kepada pengertian yang lebih dalam
"Ya Allah, ajarkan aku untuk selalu bersyukur. alangkah banyak nikmat yang Engkau limpahkan padaku, yang aku anggap 'sudah biasa' sehingga aku lupa mensyukurinya".
Terlalu banyak rencana yang ada di kepala, menunggu di eksekusi, yang membuatku fokus pada pencarian dan pencapaian, hingga aku lupa memikirkan apa saja yang sudah kupunya dan orang lain tidak punya, sama sekali.
Aku berharap dengan apa yang kumiliki saat ini, aku mampu memberi sesuatu pada orang lain. Sesuatu yang membahagiakan dan meringankan beban mereka yang kesulitan.
Alangkah beruntungnya kita yang masih punya keluarga, punya rumah, kendaraan, dan makanan hangat di meja. Alangkah patut kita bersyukur atas setiap apa yang kita punya. Terima kasih Allah.
Aku ampe ngulang baca tulisan ini dua kali. Jadi dia cuma menata saja ya? Gak ngapa-ngapain? Terus kenapa hijabnya gonta ganti modelnya? Eh.. gak ada hubungannya ma hijab? Masih mudeng nih aku. Jadi wanita itu siapa dan bagaimana sih ? Waras atau sekedar gak ada kerjaan?
BalasHapusSepertinya agak kurang waras Mbak Ade, itulah yang kutangkap dari matanya yang kosong, bajunya yang gonta-ganti model, kadang hijab besar, kadang jilbab kecil, kadang gak jilbaban. Muter-muter jalan raya daerah kami yang penuh pertokoan . Kasihan sekali Mbak :(
Hapusmbak titi. mak jleb banget bc tulisan ini....tak pikir tadi dia 'maaf' ngutil ternyata enggak ya. Ya Allah :(
BalasHapusIya Mak Irul, saya juga jadi nangis menyadari apa yang dilakukannya Sungguh kasihan :(
Hapuskalau seperti itu, kemungkinan dia depressi berat Mbak. Kasihan ya, kemana keluarganya? Ah.., sungguh kita harus bnayak-banyak bersyukur atas apa yang kita miliki. keluarga yang hangat dan mencintai kita.
BalasHapusBetul Mbak Rebellina Shanty, mungkin banyak orang yang seperti tu disekitar kita tanpa kita sadari. Sungguh kita patut bersyukur atas semua yang kita miliki.
Hapus