“Rabbii laa tadzarnii fardan, wa Anta khairul waarisiin....” pintaku berulang-ulang.Di tempat favoritku, di multazam, antara pintu Ka'bah dan Hajar Aswad.
Arus manusia yang thawaf, berputar berlawanan arah jarum jam di seputar Ka'bah membuatku semakin merasa kecil dihapan Illahi Rabbi.Jutaan manusia berkumpul menjadi satu. Bergerak perlahan dalam keteraturan. Seirama, dalam denyut jantung yang sama, memuji AsmaNYA.
“Rabb, tolong jangan biarkan aku sendirian dan kesepian sepanjang hidupku, pertemukanlah aku dengan belahan jiwaku. Ijinkan aku bersamanya, memintal benang pengadianku padaMU...” bisikku lagi.
Serombongan jamaah Turki meminta ijin untuk lewat didepanku. Sang lelaki paruh baya itu mengangguk dengan sopan dihadapanku sambil membungkukan badan.
Aku tersenyum , mempersilakan. Di belakangnya berderet-deret anggota rombongannya yang hampir semua berusia lanjut.
Kembali kutatap lekat pintu Ka'bah.
Dalam diam aku teringat ibu.
“Nduk, jangan lupa, minta sama Gusti Allah, biar kamu segera diberi jodoh yang baik, yang shaleh... ya Nduk?” bisik ibuku tepat sebelum kakiku menaiki Bus yang akan membawaku menuju asrama Hajji.
“Insya Allah Bu...” senyumku jengah.
“bener lo ya?” ancam ibuku sepenuh sayang. Aku mengangguk malu.
Bila kuingat lembaran hidupku dimasa lalu, ada gurat kelabu yang mewarnainya.
Bukannya aku tak pernah mendapatkan anugerah kesempatan untuk menunaikan separuh Dien-ku. Tapi masa itu telah lama berlalu. Bagai angin gurun yang bertiup, menyapu semua harapan yang sempat membuncah di hatiku.
Bang Ikhlas, nama yang pernah terpatri di dadaku.
Seminggu setelah pernikahan kami, seperti biasa,Bang Ikhlas mengimami jamaah shalat Asyar di masjid dekat rumah kami.Saat serentetan tembakan memecahkan ketenangan sore itu. Tiga kali bunyi letusan senjata, sontak membuat seluruh warga menghambur dari rumah masing-masing menuju masjid.
Apa yang kulihat membuatku hampir tak mampu berdiri. Suamiku tergeletak dengan tubuh bersimbah darah. Gamis putihnya terkoyak . Sebuah lubang memancarkan merah darah segarnya.
Dalam kesakitannya yang luar biasa, suamiku mengajarkanku untuk sabar dan ikhlas menerima semua itu sebagai ujian Allah. Memang begitulah seharusnya akhlak seorang Mukmin.
“Innaa Lillaahi Wa innaa ilaihi raajiuun.... sesungguhnya segala sesuatu itu berasal dari Allah dan akan kembali kepadaNYA jua.....” suamiku menghembuskan nafas terakhirnya tepat di depan pintu rumah sakit.
Suamiku salah satu korban penembakan illegal DENSUS 88, yang selalu mencurigai orang-orang yang taat dan penyebar agama sebagai kelompok teroris.
Semoga Allah SWT mengampuni.
***********************
Bulan berganti tahun. Betapa berat kurasakan hidup sendirian. Keluarga dan teman-teman berkali mengingatkanku untuk segera menikah, karena Islampun tak mengijinkan seseorang terlalu lama bersendirian.
“Suamimu pasti mendapatkan bidadari surga sebagai pendampingnya, Ayu, sedangkan kau masih ditakdirkan hidup dan berjuang di dunia ini. Realistislah,carilah pengganti suamimu. Insya Allah itu langkah terbaik untukkmu...” bisik ibuku setiap kali aku menolak lamaran seseorang.
Beliau memahamiku yang terus terkenang Bang Ikhlas dan berharap bisa berkumpul lagi dengannya di surga.
Hatiku sulit membuka pintu untuk yang lain. Sampai akhirnya aku menyadari, bahwa sebaiknya aku memang segera mencari pendamping hidup, untuk menjaga kesucianku, dan menghindarkanku dari fitnah
Aku beranjak dari tempat dudukku. Ingin thawaf sambil menunggu waktu Asyar.
Kemana adik lelakiku yang tadi mengambil tempat shalat agak jauh dariku?. Jamaah masih cukup padat, meskipun prosesi inti Hajji telah selesai. Kami hanya tinggal menunggu jadwal kepulangan ke tanah air.
“Excuse me Sis, is it yours.?.” sebuah suara berat membuatku menoleh.
Seorang lelaki bule mengangsurkan tas hijau serupa tas paspor Jamaah Hajji Indonesia.
Aku terkejut dan memeriksa tas-ku sendiri.Tidak ada!. Bagaimana mungkin?. Bukannya ,aku tak pernah melepaskannya dari tubuhku?.
“Mmm... forgive me, may I check it?...” aku menerima tas hijau tersebut.
Benar ada nama dan fotoku. Pemuda berusia sekitar 30 tahun tersebut ikut membaca nama yang tertera di tas pasport-ku.
“Ayu Annisa Rahma??, are you Ayu Annisa Rahma from Indonesia?” tanyanya terkejut, pandangannya menyelidik seperti mengenalku. Mata hijaunya berkilat. Aku tertegun.”Yeah.. kau pasti membacanya di sini guy...” bisik hatiku, sok santai.Menutupi keterkejutan yang tiba-tiba mendebarkan dadaku.
“Yes I am...” aku berusaha sopan.
“Ayu.. it's me Ian... Ian Kournikov.......” serunya dengan mata berbinar namun tetap berusaha tidak berlebihan.
“Ian Ahmed Kournikov? “ seruku tak kalah terkejut.
“Yes Sister, it's me, Subhanallah... Subhanallah...” Ian sedikit gugup.
“Subhanallah.. Subhanallah” ulangku tak kalah gugup.Bagaiamana mungkin kami bisa bertemu di sini?. Yah seharusnya aku tak terkejut. Kekuasaan Allah memungkinkan segala sesuatu bisa terjadi. Bahkan yang menurut nalar manusia terasa mustahil.
“Ayu, who's your family that I can meet here?” tanyanya tegas.
“Mmm... only my younger brother...”
“Please, take me to meet him..”
Ketika akhirnya kami berjumpa dengan adik lelakiku. Ian meminta waktu untuk berbicara dengannya. Aku menunggu agak jauh. Terus berdzikir mengulang-ulang do'a-do'aku.
“Kak, Allah mengabulkan doa kakak”, bisik adikku mengejutkanku.
“Apaa?? “
“Ian Ahmed Kournikov baru saja melamar kakak ...”
“Subhanallah... benarkah?” Bendungan airmataku kembali jebol. Kali ini dengan perasaan yang sungguh berbeda. Takjub dan syukur yang tak dapat kulukiskan.”Ya Allah, Ya Rabb... apa ini?... sungguh tak kuduga rencanaMu begini indah....Subhanallah, Alhamdulillah...” .
Sore itu , ba'da shalat Asyar, aku resmi dinikahi Ian Ahmed Kournikov dengan mas kawin sebuah Al Qur'an (yang langsung di belinya dari toko di depan masjidil Haram). Saksinya adalah Ketua rombongan Hajji dan wakilnya.Tepat di depan multazam, tempat favoritku untuk berdo'a.
Tak ada alasanku untuk menolak lelaki secerdas dan seshalih Ian. Karena kami sudah saling mengenal kepribadian masing-masing selama hampir empat bulan. Meskipun kami hampir tidak pernah membiacarakan hal-hal pribadi. Hanya saling menyelami dan mengagumi kepribadian masing-masing melalui status-status yang kami up date dan komentar-komentar di situs jejaring sosial FACEBOOK.
*****************************************
Surabaya, 19 Oktober 2010