Rabu, 25 Maret 2015

Hanyut Dalam Pusaran Pelangi Rasa Memoar Aisha Pisarzewska

Sebagai manusia, seringkali kita tak mensyukuri apa yang sudah kita miliki, dan menginginkan apa yang belum kita miliki. Sebuah rasa yang manusiawi, saat memandang rumput di halaman tetangga seolah lebih hijau dari rumput di halaman sendiri.

Istilah diatas mungkin menggambarkan banyaknya impian gadis-gadis Indonesia yang menginginkan menikah dengan pemuda-pemuda dari benua biru yang nampak memesona, tanpa tahu konsekuensi yang harus dihadapinya. Hidup di negara dengan empat musim dan ada saat musim yang sangat ekstrim seperti musim panas yang menyengat dan musim dingin yang meremukkan tulang belulang.

Tapi siapakah yang mampu menolak garis takdir yang ditentukan Allah Yang Maha Kuasa, saat seseorang harus melangkah jauh meninggalkan batas-batas tanah air tercinta, menjemput takdir sebagai seorang isteri dari seorang lelaki mualaf di negeri Sang Paulus, Polandia, yang juga menjadikannya kaum minoritas di tengah-tengah masyarakat yang berbeda keyakinan?





Rasa kesendirian, perasaan terasing dan kesepian yang hampir melumpuhkan iman. Ketidak berdayaan melawan kodrat Illahi dalam menjalani kehamilan yang berat dan penuh masalah, sungguh ujian yang berat yang harus dihadapi di tengah tatapan aneh sekelilingnya yang tak biasa melihat seorang perempuan berwajah Asia, berjilbab rapat dan hampir tak mampu berbahasa Polandia, kecuali sepatah dua patah kata?

Inilah kisah mengharu biru yang memaksaku untuk terus tersedu membaca lembar-demi lembar yang berwarna-warni. Raidah Athirah, demikian nama pena sang penulis, seorang Muslimah kelahiran tanah Maluku yang telah kenyang memakan asam garam kehidupan sejak masa kanak-kanaknya yang harus mengalami periode menjadi pengungsi atas peristiwa perang berlatar belakang SARA yang meluluh lantakkan ketenangan dan kedamaian hidup penuh persaudaraan di Ambon,pada tahun 1999.

Takdir Allah Subhanahu Wa Taala telah menggariskan sang penulis untuk mencecap warna-warni hidup di negeri Timur Eropa dengan kecantikan nan klasik. Sisa-sisa peninggalan bersejarah sejak sebelum Perang Dunia II , hingga masa-masa penguasaan Rusia dan Nazi Jerman di bumi Eropa Timur bertaburan di bumi Polandia, menyisakan keanggunan dan keindahan yang tetap terjaga hingga saat ini.

Tetapi hal yang membuat saya sebagai pembaca buku ini larut dalam kisah dan tak kuasa menahan uraian air mata adalah saat saya terhanyut mengikuti detik-detik perjalanan sang penulis yang mengalami berbagai dilema dan keharuan selaku keluarga muslim satu-satunya di kota Jablona, Polandia, yang memaksa mereka menelan sendiri semua kesulitan hidup dalam budaya kemandirian khas Eropa yang tak mungkin mengandalkan tetangga dan keluarga besar.

Beruntung sang penulis memiliki pasangan mertua yang penuh kasih sayang dan melimpahkan perhatian yang menguatkan langkah kaki pasangan muslim muda pertama di kota Jablona tersebut.

Saat paling berkesan bagi saya , (meski hampir semua bagian cerita dalam buku ini juga tak kalah berkesannya), adalah saat mereka , pasangan Raidah Athirah dan suaminya dicekam rasa sedih karena kesepian mendamba ukhuwah di akhir Ramadhan, yang juga telah mereka lalui dengan berat hati karena harus berpisah di tengah kondisi kehamilan yang sangat berat.

 Jika kita di Indonesia, terbiasa menyambut Bulan Syawal dengan suka cita karena menikmati kemenangan bulan Ramdhan, berkumpul dengan keluarga dan handai taulan, dimanjakan dengan berbagai festival, makanan melimpah dan baju baru, maka tidak demikian dengan pasangan penulis ini. Bukan ..bukan baju baru atau hidangan mewah yang mereka damba, namun, jiwa mereka menangis mendamba ukhuwah.

Hanya alunan takbir dari Gadget yang mampu mereka nikmati sebagai tanda bahwa hari kemenangan sedang menjelang. Dalam kesendirian dan kesepian mendera. Mereka hanya mampu menghibur diri dengan bersabar dan banyak berdoa. Sebuah keyakinan, bahwa Allah Yang Maha Pengasih tak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan hambaNYA.

Kali lain yang membuat saya tersedu adalah saat Sang penulis sedang berada dalam pertarungan hidup dan mati, mendamba syahid dalam proses kelahiran puterinya, di rumah bersalin  Szpital Na Solcu. Dengan kepasrahan seorang muslimah yang menyadari bahwa hidupnya bisa saja berakhir saat melahirkan puteri terkasihnya, maka dia meminta suaminya mendekat, dan memegang tangannya seraya bertanya..

"Abang, Ridho-kah padaku?"....

Teringat sebuah hadist yang yang diriwayatkan Ummu Salamah :

"Apabila seorang wanita meninggal dunia, dan suaminya meridhoinya, maka surgalah tempatnya"
(Hadist riwayat Ahmad dan Tabrani) 

Dan suaminya menjawab dengan tak kalah harunya

"Ridlo, Kochanie...Ridho" dengan beruarai airmata.

"Tolong mintakan maaf pada Tata dan Mama di sini, dan tolong telepon ibu dan saudara-saudaraku di tanah air. Aku Mohon maaf"



                                                                ***************

Masih banyak lagi yang terkisah dari buku Memoar Aishah Pisarzewska yang memuat pelangi rasa suka, duka, haru, nelangsa, bahagia dan syukur dari Sang penulis selama menjalani perannya sebagai isteri dan ibu Muslimah pertama di kota Jablona, tanah Polandia, di bagian Timur Eropa yang indah.

Tetapi satu hal yang saya garis bawahi dari kisah yang tertuang di sini adalah,


Hendaklah kita bersyukur dengan semua yang kita miliki dan memanfaatkan sebaik-baiknya potensi yang telah diberikan Allah Subhanahu Wa Taala pada kita, sehingga kelak tiada penyesalan saat giliran kita menghadap padaNYA. Allahu Rabbi.


Surabaya 25 Maret 2015





10 komentar:

  1. sangat inspiratif. Saya jadi sangat penasaran membaca tulisan mbak Raidah Atirah.. Terima kasih telah berbagi Mbak.. :)

    BalasHapus
  2. Sama-sama mbak Khaeriyah Nasruddin, bukunya bagus, banyak gambar-gambar istana yang indah.. tapi saya lebih berkesan pada perjalanan rasa Sang Penulis yang mengalami gejolak-gejolak hati yang mengharu biru

    BalasHapus
  3. Sama-sama mbak Khaeriyah Nasruddin, bukunya bagus, banyak gambar-gambar istana yang indah.. tapi saya lebih berkesan pada perjalanan rasa Sang Penulis yang mengalami gejolak-gejolak hati yang mengharu biru

    BalasHapus
  4. Perjalanan luar biasa dan pastinya banyak tantangan menjadi minoritas ya mba, sampai mengharu biru gitu :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pastinya Mbak Shinta, ngga bisa saya bayangkan betapa berat ujian sebagai minoritas :)

      Hapus
  5. Bersyukur, dan tidak melulu melihat ke bawah ya mbak. Terimakasih sudah mengingatkan.. Bahkan kadang kita lupa dengan potensi diri yg blm tentu dimiliki orang lain, sekecil apapun itu..

    :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali mba Hani Shah, ngga terus melihat ke bawah, kadang juga perlu menatap ke atas, agak seimbang :)

      Hapus
  6. pengen baca juga,tp di bukittinggi nggak ada gramed..

    BalasHapus
  7. Alhamdulillah, dari bekal dari penasaran buku ini akhirnya saya miliki. Perjalanan hidup yang mengharukan, sekaligus menambah pengetahuan tentang sejarah islam di bumi Polandia. Buku ini telah saya, Mbak. :)

    BalasHapus