Rabu, 04 Februari 2015

Kutunggu Kau Di Taman Surga - part 2

Hari berganti minggu. Aku sudah melupakan usulan Ukhty  Salamah, dan larut dalam kesibukanku. Mengajar di sekolah Madrasah Ibtidaiyyah di dekat rumahku, mengkaji agama tiap hari Jumat Sore dan Sabtu pagi di rumah Ukhty Salamah dan di Masjid Baitus Salam di desa sebelah yang berjarak sekitar dua kilometer dari desaku. Serta membantu Ummi mengerjakan pekerjaan rumah yang seakan tiada habisnya terutama saat musim bertanam padi dan saat panen di mana Abah punya banyak pekerja buruh tani yang menggarap sawah kami. Saat-saat itu biasanya  kaum wanita sibuk luar biasa mempersiapkan hidangan makan pagi dan makan siang untuk puluhan orang.

Kehidupan di desa yang tenteram dan kesibukan-kesibukan khas desa yang menyita waktu namun sangat menyenangkan. Sangat berbeda dengan kehidupan kota besar yang sempat ku kecap beberapa tahun lalu saat aku menempuh kuliah di sebuah Universitas ternama.




 Suasana desa yang tenang, cenderung sepi saat pagi hari, saat matahari baru muncul malu-malu dari peraduannya. Embun masih bergelayut di ujung-ujung dedaunan semak-semak klorak yang terhampar sepanjang jalan menuju persawahan dan membuat licin pematang-pematang yang ditumbuhi rumput liar yang lebat. Hangat matahari pagi dengan sinar lembutnya, menimpa pucuk-pucuk pepohonan dan rerumputan yang menghijau. Udara segar memenuhi seluruh bumi.

Suasana pagi nan hening, tiba-tiba akan dipecahkan oleh kedatangan serombongan lelaki memanggul cangkul dan bajak. Riuh rendah suara lelaki tertawa dan bercanda di sepanjang jalan menuju sawah, Burung tekukur bernyanyi di pucuk-pucuk pohon akasia. Melompat-lompat dari satu dahan ke dahan lainnya. Udara sejuk khas pagi hari mengaliri setiap celah pori-pori atmosfer bumi.

Menjelang siang , saat matahari tepat di atas ubun-ubun, sinarnya berubah panas. Bumi pun menggeliat menahannkan panas matahari yang menyengat.Angin mencoba membantu  menghalau hawa panas sinar matahari dengan bertiup semilir ke satu dua penjurumata angin. Persawahan terpanggang panas membakar, para pekerja biasanya menepi ke gubuk-gubuk bambu beratap rumbia, sekadar beristirahat sambil menikmati santap siang.
gambar dari theindonesianinstitut.com

Di desa, para wanita sibuk sehariaan. Berbelanja ke pasar, memasak, mencuci baju dan perabot, membersihkan rumah,Saling berbicara satu sama lain sambil terus mengerjakan pekerjaan rumahnya. Mencoba terus bergembira dan membakar semangat satu sama lain, di tengah tugas-tugas rumah tangga yang seakan tiada habisnya.
 Rindang kanopi pepohonan kelapa di tegal-tegal sekitar rumah penduduk mampu menaungi rumah-rumah desa dari sengatan matahari.Terkadang seorang wanita keluar rumahnya untuk meminta bumbu dapur pada tetangga terdekatnya. Atau bisa juga membawa baskom berisi masakan untuk dikirimkan pada kerabat atau handai taulan yang lebih tua. Bila masakan telah siap, seseorang lelaki utusan dari sawah akan datang mendorong sebuah gerobak untuk mengangkut rantang-rantang dan bakul-bakul berisi makanan untuk para pekerja di sawah. Nasi putih atau nasi jagung dalam bakul besar. Sebaskom besar sayur asam berisi beraneka sayur hasil memetik di kebun belakang rumah. Sebakul besar ikan pepes dan tahu tempe bacem di rantang-rantang. Tak lupa dua mangkuk rantang berisi sambal dan  sepanci besar es teh manis. Piring dan gelas plastik bersih, dua lusin sendok, yang biasanya selalu berkurang jumlahnya.  Semua diangkut dengan gerobak menuju persawahan, tempat para lelaki sudah menunggu dengan perut kelaparan. Suasana yang hampir serupa setiap hari.

Kesibukan membantu Ummi dan mengajar di sekolah membuatku sering melupakan kesendirianku. Hanya saat berkumpul teman-teman di majlis taklim yang sering menyadarkanku akan statusku yang masih sendiri. Sementara teman-temanku banyak yang hadir sambil menggedong momongannya.


Sore itu, pada hari Jumat, di Mesjid Baabus salam. Seusai taklim tafsir Quran. Ukhty Salamah menggamit lenganku dan mengajakku duduk agak ke depan, dekat tirai pembatas antara jamaah putera dan puteri. Semua jamaah telah pulang kecuali kami berdua. Dan ada suara dua orang lelaki bercakap-cakap di balik layar pemisah.

"Assalamualaikum, Ukhty Zainab" sebuah suara berat megejutkanku. Aku mencoba mengenali suara siapa yang memanggilku.

"Wa..waalaikum salam Akhi.." jawabku tergagap, tak tahu berbicara dengan siapa.
"Itu Akhi salim, adik lelakiku.." bisik Ukhty Salamah tersenyum. Aku mengangguk berdebar.

"Ukhty.. saya sudah menyampaikan niat ukhty kepada Ustadz Jaffar.." lirih suara di sebelah. Aku terkejut. Kok Ukhty Salamah tidak memberi tahu aku sebelumnya. Ku pelototkan mata padanya. Ukhty Salamah terkikik lirih. Memberi isyarat untuk diam dan mendengarkan.

"Pada dasarnya Ustadz Jaffar tidak menolak, tetapi beliau tidak bisa langsung menyetujui usulan ini, beliau perlu waktu untuk berbincang-bincang dengan keluarga dan isteri beliau sebelum memutuskan untuk menyetujui atau tidak menyetujui usulan Ukhty Zainab..." lanjut suara Akhi Salim.

"Memangnya aku sudah mengusulkan apa?? Memangnya aku seberani itu melamar Ustadz Jaffar yang masih keturunan Arab, tampan, shalih, berkecukupan dan sudah punya isteri???" jerit hatiku antara malu dan berharap. OH Ya Rabb!! mau ditaruh di mana mukaku bila harus bertemu Ustadz Jaffar atau isterinya yang cantik dan shalihah?

"Ya saya mengerti.." entah mengapa hanya itu suara yang keluar dari mulutku

"Assalamualaikum.." tiba-tiba sebuah suara datang dari pintu masuk masjid  bagian putera.
"Waalaikum salam.. suara Akhi Salim dan Ustadz Jaffar.

"Mohon maaf Ustadz dan Akhi, apabila saya lancang. Sedari tadi saya secara tidak sengaja mendengar percakapan Akhi Salim dengan Ustadz Jaffar. Sebenarnya... saya tidak sengaja menguping. Saya hanya sedang.. sedang menunggu giliran untuk berbicara pada Ustadz Jaffar ..." lanjut suara tersebut.
gambar dari myfitriblog.wordpress.com

"Oh.. Akhi Ahmad... silakan masuk, janganhanya bersembunyi di pintu. Masuklah...apa yang bisa saya bantu..?" terdengar suara Ustadz Jaffar mempersilakan suara yang ternyata bernama "Akhi
Ahmad". itu.

"Maaf Ustadz.." suara itu terdengar mendekat.

"Sebenarnya.. tujuan saya menunggu Ustadz Jaffar tadi adalah .. adalah..karena saya ingin minta tolong agar Ustadz Jaffar mau membantu saya mencarikan...ehmm..mencarikan jodoh buat saya.." lirih suara Akhi Ahmad

"DEG!" entah mengapa ada yang bertalu di hatiku. Aku dan Ukhty Salamah saling berpandangan. Entah mengapa aku merasa bahwa di balik tirai pemisah , Ustadz Jaffar dan Akhi Salim juga sedang saling memandang.

"Kalau Ustadz ijinkan, dan Ukhty yang sedang mencari jodoh itu berkenan, ijinkan saya menjalani taaruf dengannya, siapa tahu dialah jodoh saya. Jadi Ustadz tidak perlu melakukan poligami dulu, bila belum siap, dan saya rasa,sayalah yang lebih membutuhkan isteri dibandingkan Ustadz..' lirih suara Akhi Ahmad, entah mengapa aku tersenyum geli bersamaan dengan linangan air mataku yang tiba-tiba menyeruak turun tanpa bisa kucegah. Inikah skenario Allah? Subhanallah... Sempurna !!

Maka atas ijin Ustadz Jaffar, kamipun dipertemukan dalam taaruf  hari itu juga. Didampingi Ukhty Salamah dan Ustadz Jaffar serta Akhi Salim. Selanjutnya Akhi Ahmad meminta ijin bertemu Abah.

Tiga hari kemudian, Abah menemui Akhi Ahmad dan terlibat obrolan serius selama kurang lebih satu jam di ruang tamu rumah kami yang sederhana khas desa. Abah menerima pinangan Akhi Ahmad. Seminggu kemudian orang tua Akhi Ahmad datang ke rumah kami dengan mengendarai mobil yang cukup mewah untuk ukuran orang desa kami. Rupanya keluarga Akhi Ahmad cukup terpandang.

Pembicaraan tentang pernikahan pun berlangsung antara para orang tua. Aku hanya mampu bersujud syukur dalam shalat-shalatku, memanjatkan terima kasih tak terhingga pada Allah Yang Maha Pengasih.

Ternyata jodohku begitu dekat, hanya saja.. ia tak akan datang bila waktu yang ditentukanNYA belum tiba... Subhanallah

(bersambung ke bagian 3)







Tidak ada komentar:

Posting Komentar